Kedudukan Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945


Sebuah Undang-Undang Dasar (UUD) maupun aturan hukum pada umumnya terdiri dari suatu bangunan yang sistematik, yang tentu memiliki implikasi secara internal maupun secara eksternal sesuai dengan realitas ketatanegaraan. Secara internal, UUD itu dituntut untuk memiliki korelasi atau hubungan antar pasal-pasal, bab-bab dan ayat-ayat yang ada didalamnya. Sementara secara eksternal, UUD itu harus memiliki hubungan yang positif dengan aturan-aturan lain yang berada diluarnya.
UUD atau konstitusi negara bukanlah sesuatu yang sakral dan tidak bisa dirubah. Dalam artian UUD atau konstitusi tetap harus mengikuti perkembangan zaman, yang bisa mengadopsi semua tuntutan perubahan yang ada. Kesalahan terbesar pada saat pemerintahan orde baru, ketika menempatkan UUD 1945 pada posisi yang sempurna dan sakral yang sudah tidak membutuhkan perubahan lagi, bahkan celakanya bagi golongan yang yang ingin melakukan perubahan akan harus siap berhadapan dan tersingkir dari parlemen.
Arah baru harapan sejarah, pasca tumbangnya pemerintahan orde baru oleh gerakan pro-demokrasi yang dipelopori oleh mahasiswa, pemuda, dan masyarakat umum menutut untuk dilakukan perubahan ditubuh UUD 1945. Gerakan itu menamakan dirinya sebagai gerakan reformasi, gerakan untuk perubahan yang sudah tidak tahan lagi menyaksikan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pemeritahan orde baru. Walhasil dari seluruh bagian-bagian UUD 1945 yang berhasil ditafsirkan oleh orde baru demi menyelamatkan dan mengamankan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta merugikan rakyat berhasil diamandemen, sehingga dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang cukup derastis terhadap lembaga-lembaga negara.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, pasca amandemen pertama dan keempat yang berlangsung dari tahun 1999 sampai tahun 2002, memiliki perubahan yang signifikan dan drastis jika dibandingkan dengan sebelum amandemen, sehingga dalam proses amandemen sebagian pakar hukum tata negara menganggap sebagai pembuatan UUD baru, karena dinilai terlalu banyak yang dirubah dan ditambah.
Dari adanya UUD 1945 baik sebelum dan sesudah amandemen sehubungan dengan lembaga-lembaga negara, jika diteropong dari realitas ketatanegaraan akan memiliki implikasi-implikasi atau konsekwensi berbeda, karena semua masuk dalam suatu sistem yang menjadi perangkat kesatuan. Implikasi tersebut juga menjadi alat ukur kemapanan berdemokrasi di suatu negara. Berikut beberapa hal yang menjadi catatan-catatan penting sehubungan dengan hal tersebut:
1. Kekuasaan membentuk Undang-Undang
a.    Sebelum Amandemen UUD 1945
Pembagian dan pembatasan kekuasaan oleh Montesquie dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu pertama, legislatif, pemegang kekuasaan membentuk undang-undang; kedua, yudikatif, pemegang kekuasaan dibidang kehakiman; ketiga, eksekutif, pemegang kekuasaan dibidang pemerintahan. Kekuasaan antar badan eksekutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia tidak dianut secara murni dan baku. Kekuasaan eksekutif masih mencampuri kewenangan legislatif atau yudikatif. Tetapi juga sebaliknya terjalin saling kontrol, sehingga terjalin perimbangan kekuasaan (Check and Balance) antar lembaga negara.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru (Soeharto), kekuasaan membuat undang-undang ada di tangan Presiden. DPR hanya sekedar memberikan persetujuan atas undang-undang itu. Sehingga, ketika Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa susunan MPR di tetapkan dengan undang-undnag, maka pemerintah soeharto menyusun MPR dengan cara mengangkat 60 persen dari fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Utusan Daerah, dan Utusan Golongan.
Pemerintahan orde baru memang boleh dikatakan telah berhasil membongkar bangunan idealitas dari masing-masing institusi dari penyelenggara negara, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mengamankan posisi eksekutif (Presiden). Seluruh institusi berhasil dimasuki dan dikontrol agar selalu mendukung dan mengamankan posisi sang Presiden. Walhasil orde baru berhasil berkuasa selama 32 tahun, walaupun UUD 1945 telah ditafsirkan secara sepihak olehnya.
Dalam fungsi legislasi pada masa orde baru, kekuasan membuat undang-undang dipegang oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang untuk berlakunya undang-undang itu harus mendapat pengesahan terlebih dahulu oleh Presiden. Sehingga, semua undang-undang yang disahkan tidak akan merugikan kekuasaan presiden, yang apabila ada undang-udang yang disinyalir merugikan Presiden, pasti tidak akan disahkan olehnya, seperti nasib undang-undang penyiaran.
b.    Sesudah Amandemen UUD 1945
Sesudah amandemen UUD 1945 kekuasaan legislasi ada ditangan DPR dengan persetujuan dari presiden (Pasal 20 ayat (1) perubahan pertama UUD 1945). Dengan demikian, telah terjadi perubahan kewenangan legislasi dari presiden dengan persetujuan DPR kepada DPR dengan persetujuan Presden. Selain memilkiki fungsi legislasi, DPR juga memiliki fungsi anggaran dan pengawasan (Pasal 20A ayat (1) perubahan kedua UUD 1945).
Sementara kewenangan mengajukan rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujaun bersama (Pasal 20 ayat (2) perubahan pertama UUD 1945).
Dari hasil rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden untuk menjadi undang-undang tidak lagi bersifat final, tetapi dapat dilakukan uji material (yudicial review) oleh mahkamah konstitusi atas permintaan pihak tertentu. Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, disebutkan mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat tetap untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Dengan ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kekuasan membentuk undang-undang di atas, maka yang patut dicatat adalah suatu kenyataan bahwa pengesahan undang –undang bukan merupakan suatu yang telah final. Undang-undang tersebut masih dapat dipersoalkan oleh masyarakat yang akan dirugikan jika undang-undang itu jadi dilaksanakan, atau oleh segolongan masyarakat dinilai behwa undang-undang itu bertentangan dengan norma hukum yang ada diatasnya, misalnya melanggar UUD 1945.
2. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga ini dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
Namun didalam perjalanannya, mahkamah agung ternyata banyak dipengaruhi oleh pemerintah. Mahkamah agung tidak dapat bergerak dengan bebas dan independent. Intervensi itu berjalan ketika ada kepentingan nyata pemerintah terhadap objek putusan yang nantinya akan mempengaruhi dinamika dan kestabilan politik dalam negeri. Misalnya kasus oknum yang dipenjara karena pidato politiknya yang mengkritik pemerintah, dalam kasus itu putusan pengadilan sudah diketahui, sehingga prosedur pengadilan tinggal-lah sandiwara belaka.
Perlawanan yang dilakukan untuk mengatasi keterpurukan sistem hukum itu, tidak-lah terlalu berarti sebab saluran-saluran perlawanan itu telah disumbat dengan berbagai cara dan pendekatan pemerintah orde baru. Peran mahasiswa dan pers sebagai salah satu pilar demokrasi disumbat independensinya, yang apabila ada kekritisan dari mereka, maka harus berhadapan dengan penguasa dalam hal ini pengadilan yang didesign menghancurkan perlawanan musuh-musuh politik orde baru.
Keterpurukan keadaan itu, akhirnya mencapai puncaknya dengan kemarahan rakyat yang memaksa Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya pada tahun 1998. yang selanjutnya pada tahun 1999 dimulai amandemen pertama UUD yang terus berlanjut sampai amandemen keempat tahun 2002. Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman ini selain dilakukan oleh Mahkamah Agung juga dilakukan oleh mahkamah konstitusi dan komisi yudisial.
Dengan diamandemennya UUD 1945, maka posisi hakim agung menjadi kuat karena mekanisme pengangkatan hakim agung diatur sedemian rupa dengan melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, Presiden dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini memang merupakan lembaga baru yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan terkait pengangkatan hakim agung serta penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945). Yang anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945).
Berdasarkan hal tersebut diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 dan perubahan-perubahannya itu telah mengatur mekanisme penyelenggaraan ketatanegaraan, yang terkait dengan hubungan kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif secara seimbang. Atau dengan kata lain, terdapat hubungan check and balance antara ketiga lembaga tersebut.
2.  Eksistensi MPR dan Kedaulatan Rakyat
a.    Sebelum Amandemen UUD 1945
Menurut UUD 1945 sebelum amandemen, MPR memiliki tugas dan wewenang menetapkan UUD, menetapkan GBHN (Pasal 3), memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6), dan mengubah UUD (Pasal 37).
Selain itu MPR juga memegang kedaulatan penuh dari rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandeman). Jadi MPR adalah satu-satunya lembaga yang memegang kedaulatan penuh dari rakyat, bahkan semua lembaga negara lain tunduk pada kekuasaan MPR.
b.    Sesudah Amandemen UUD 1945
Dalam sidang tahunan 2002, MPR telah melakukan langkah bijak dengan mengubah posisinya, yang semula sebagai lembaga tinggi negara dan pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi lembaga tinggi biasa.
Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2) setelah amandemen, disebutkan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar.
Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPD ini dipandang sebagai pengganti “Utusan Daerah” yang dikenal dalam UUD 1945 sebelum amandemen, disamping utusan golongan dan anggota DPR.
Kewenangan MPR kini mencakup, pertama, mengubah dan menetapkan UUD; kedua, melantik presiden dan/ atau wakil presiden; ketiga, memberhetikan Presdien dalam masa jabatannya menurut UUD.
Kewenangan MPR tersebut sekilas nampak tidak ada perbedaan dnegan kewenangan yang dimilikinya menurut naskah UUD 1945 sebelum amandemen, namun jika dilihat dari perbandingan naskah antara rumusan pasal 1 ayat (2) naskah sebelum amandemen dan naskah baru sesudah perubahan ketiga, maka akan jelas ditemukan bahwa telah terjadi pengurangan kekuasaan MPR, yaitu yang semula berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, maka setelah amandemen ketiga, tidak lagi sebagai pelaksana pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya.
Kemudian untuk memberhentikan Presiden dan atau wakil presiden, MPR tidak bisa lagi bertindak sendiri seperti yang pernah terjadi dalam kasus pemberhentian Presiden Soekarno tahun 1967 dan Presiden Abdulrahman Wahid tahun 2001, tetapi harus melibatkan lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi inilah yang akan menentukan apakah presiden dan atau wakil presiden benar-benar telah melanggar hukum atau tidak (Pasal 7B Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Dengan ketentuan demikian, posisi presiden menjadi semakin kuat, karena interpretasi atau penafsiran atau penentuan apakah presiden dan atau wakil presiden melanggar hukum, akan bergantung kepada putusan Mahkamah konstitusi dengan jumlah anggota 9 orang, yang tiga diantaranya diajukan oleh Presiden. Jadi secara politis, presiden telah memegang 3 suara di mahkamah Konstitusi. Jika putusan mahkamah konstitusi dijalankan berdasarkan voting yaitu tidak ada kesepakan bulat diantara semua anggota hakim mahkamah konstitusi, maka presiden tinggal mencari dukungan suara 2 orang lagi.
Bagi seorang Presiden, tidaklah sulit untuk meraih dukungan suara dari dua orang anggota mahkamah konstitusi. Secara politis, mempengaruhi 2 orang lebih mudah dibandingkan dengan harus mempengaruhi lima puluh persen tambah satu dari seluruh anggota MPR. Ketentuan ini yang akan dapat menyelamatakan apabila mereka dituduh oleh DPR telah melanggar hukum. Karena disitu, tuduhan DPR tersebut dapat saja ditolak oleh mahkamah konstitusi. Jika oleh mahkamah konstitusi, presiden dan/ atau wakil presiden diputus tidak melakukan pelanggaran hukum yang dituduhkan itu, maka MPR tidak berwenang memberhentikan yang bersangkutan. Jadi, penentu dominan apakah presiden dan atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR adalah mahkamah konstitusi.
Persoalan yang dapat muncul dikemudian hari adalah misalnya, mahkamah konstitusi memutuskan presiden dan/ atau wakil presiden melanggar hukum, namun MPR ternyata tidak memberhentikan Presiden dan/ atau wakil presiden. Kasus demikian kemungkinan bisa saja terjadi, mengingat MPR adalah lembaga politik, dan dalam pengambilan keputusan dapat berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan objektifitas hukum.
3. Kekuasan Presiden
Kedudukan Presiden sebelum amandemen, yaitu pertama, sebagai kepala negara; kedua, sebagai kepala pemerintahan; ketiga, sebagai pembentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.
Setelah amandemen UUD 1945, kedudukan Presiden sudah banyak dikurangi, antara lain sebagai berikut :
Hakim agung tidak lagi diangkat oleh Presiden melainkan diajukan oleh komisi yudisial untuk diminta persetujuan DPR, selanjutkan ditetapkan oleh Presiden (Pasal 24A ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945).
Demikian juga anggota Badan Pemeriksa Keuangan tidak lagi diangkat oleh Presiden, tetapi dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh Presiden (Pasal 23F ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945). Pengangkatan pejabat-pejabat tersebut mencerminkan suatu mekanisme ketatanegaraan yang mengarah kepada suatu keseimbangan dan demokratisasi. Namun sangat disayangkan, pengangkatan seorang jaksa agung masih menjadi kewenangan presiden, tanpa melibatkan DPR secara nyata.
Selanjunya rancangan undang-undang yang telah dibahas bersama anatar DPR dengan presiden apabila dalam waktu tiga puluh (30) hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui tidak disahkan olehPresiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah berlaku dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (5) perubahan pertama UUD 1945). Jadi, persetujuan atau pengesahan atas rancangan undang-undang menjadi undang-undang oleh Presiden tidak mutlak.
Namun demikian, di sisi lain, posisi presiden semakin kuat, karena ia tidak akan mudah dijatuhkan atau diberhentikan oleh MPR, meskipun ia berada dalam kondisi berbeda pandangan dalam penyelenggaraan pemerintahannya dengan parlemen baik kepada DPR maupun kepada DPD. Selama tidak diputus melanggar hukum oleh mahkamah konstitusi, maka posisi presiden akan aman. Selain itu, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Memang MPR masih dapat mengehentikan presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya atas usul DPR (Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945). Namun, hal ini akan sangat bergantung kepada keputusan mahkamah konstitusi, karena menurut pasal 7B ayat (1) menyatakan usul pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum ini berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau pendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden dan/ atau wakil presiden. Jadi putusan mahkamah konstitusi tersebut semata-mata atas dasar pertimbangan hukum.
MPR juga dapat memilih presiden dan wakil presiden pengganti apabila terdapat kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden ditengah masa jabatannya secara bersamaan (pasal 8 ayat (3) UUD 1945). Yang menjadi persoalan kemudian adalah pertanggungjawaban presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh MPR tersebut. Apakah ia bertanggungjawab kepada rakyat atau kepada MPR yang telah memilih dan mengangkatnya.
Ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ini menunjukkan bahwa MPR tidak konsisten dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung . Sebaiknya dalam hal ini perlu dikaitkan dengan sisa masa jabatan presiden dan atau/ wakil presiden itu. Misalnya, majelis boleh memilih presiden dan/ atau wakil presiden pengganti jika sisa masa jabatan itu masih lama, lebih dari 12 bulan, maka sebaiknya pemilihan presiden dan/ atau wakil presiden pengganti diserahkan kembali kepada rakyat. Dengan demikian kewenangan MPR dalam memilih presiden dan/ atau wakil presiden pengganti hanya bersifat sementara dan semata-mata karena pertimbangan tekhnis.
4.  Pertanggungjawaban Presiden
Pada saat pemerintahan orde baru berkuasa, presiden dipilih oleh anggota MPR, sehingga pertanggung jawabannya juga kepada MPR. Pertanggung jawaban itu merupakan formalitas belaka yang dilakukan setiap musimnya, hanya dengan maksud menggugurkan kewajiban konstitusi. Hasil dari pertanggung jawaban presiden-pun sudah diketahui yaitu akan diterima secara aklamasi sebab keanggotaan MPR telah didesgn pemerintah orde baru untuk berpihak secara total kepadanya, yang siapa yang melawan atau membangkang maka harus berhadapan dengan alat pengaman kekuasaan orde baru yang selalu siap menggiring oknum tersebut kemaja pengadilan atau keluar dari keanggotaannya di parlemen.
Pada saat itu, MPR memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden dengan alasan melanggar haluan negara atau melanggar UUD. Kembali kewenangan ini hanya menjadi kewenangan formalitas belaka yang tidak memiliki kekuatan, walaupun pemerintah orde baru nyata-nyata melanggar haluan negara atau UUD.
Sekarang pasca amandemen UUD 1945, Presiden dapat saja di impeachment jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
Dugaan pelanggaran hukum untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya itu diajukan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi setelah didukung oleh 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus usul pemberhentian Presiden itu. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian itu kepada MPR (Pasal 7B (5)). Selanjutnya MPR menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut (Pasal 7B (6).
Sebagai lembaga politik MPR dapat saja memutuskan tidak memberhentikan Presiden dari jabatannya, walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutus Presiden telah melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden. Jadi keputusan Mahkamah Konstitusi itu dapat saja dianulir oleh keputusan politik MPR.
Lembaga-lembaga Negara menurut Konstitusi RIS adalah :
  1. Presiden
  2. Menteri-Menteri
  3. Senat
  4. Dewan Perwakilan Rakyat
  5. Mahkamah Agung
  6. Dewan Pengawas Keuangan
"Presiden tidak dapat diganggu-gugat".  Artinya,  Presiden  tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing- masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. 
Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menterimenteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (DPR)
Lembaga-lembaga Negara menurut  UUDS 1950 adalah :
1.        Presiden dan Wakil Presiden
2.        Menteri-Menteri
3.        Dewan Perwakilan Rakyat
4.        Mahkamah Agung
5.        Dewan Pengawas Keuangan
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda.
Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah:
1.      Menetapkan pembubaran Konsituante.
2.      Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3.      Pembentukan MPRS dan DPAS Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia. 

      Nur Agung Sugiarto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Holding Company di Indonesia

Akibat Hukum Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi Putusan Pailit