Akibat Hukum Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi Putusan Pailit
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia
mempunyai keinginan yang kuat untuk melaksanakan pembangunan terutama di
bidang perekonomian, akan tetapi keinginan ini sering tidak didukung
oleh kecukupan tersedianya sumber-sumber pembiayaan dalam negeri
sehingga ketidakmampun menyediakan sumber pembiayaan harus dicarikan
dari sumber yang berasal dari luar negara. Dalam mengupayakan
sumber-sumber dana tersebut, Pemerintah Indonesia banyak mengeluarkan
kebijakankebijakan di bidang ekonomi dan bisnis sebagai usaha untuk
mengurangi dan menghapus berbagai jenis peraturan yang menghambat dan
membatasi serta memperkecil campur tangan pemerintah yang berlebihan di
bidang ekonomi dan bisnis[1]
demi terciptanya iklim usaha yang kondusif dalam rangka peningkatan
investasi penanaman modal asing.
Semenjak tahun 1967, ketika pemerintah mulai memacu
pertumbuhan perekonomian nasional dengan mengeluarkan kebijakan penanaman modal
asing (dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing) mengakibatkan badan usaha yang bernama perseroan terbatas
mengalami peningkatan dalam segi kuantitasnya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
disamping memberikan ketentuan terhadap investor asing yang akan menanamkan modalnya
di Indonesia harus mendirikan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas,
juga karena para usahawan itu sendiri yang memilih untuk mendirikan badan usaha
yang berbentuk perseroan terbatas dalam melakukan aktivitas usahanya karena
bentuk badan usaha ini dirasa mempunyai kelebihan dibanding badan usaha
lainnya.[2]
Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa badan usaha ini
(perseroan terbatas) banyak diminati oleh para pengusaha karena : ”PT pada
umumnya mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, mampu mengadakan
kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensiil untuk memperoleh
keuntungan baik bagi instansinya sendiri maupun bagi para pendukungnya
(pemegang saham). Oleh karena itu, bentuk Badan Usaha PT sangat diminati oleh
masyarakat”.[3]
Pendapat ini mendasarkan pada kenyataan bahwa
Perseroan Terbatas mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri dan berpotensi
memberikan keuntungan bagi instansinya sendiri maupun bagi para pemegang saham.
Ini bisa kita lihat dalam realita yang ada di tengah-tengah kita, organisasi
ekonomi (badan usaha) yang dimiliki oleh konglomerat yang menguasai beberapa
sektor perekonomian bentuknya adalah perseroan terbatas.
Dalam menjalankan usaha bisnis untuk mencapai tujuan
dari suatu perseroan terbatas, kegiatan pinjam meminjam adalah kegiatan yang
sangat lumrah. Dalam hal kegiatan pinjam meminjam ini selalu terdapat resiko
yang cukup besar. Oleh karena itu biasanya terdapat jaminan atau collateral yang di berikan debitu kepada kreditur sebelum
kreditur memberikan pinjamannya.
Dalam aspek permodalan, jatuhnya nilai rupiah yang
sangat dalam seperti saat ini, juga telah mempersulitt dunia usaha dalam
memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman atau utang. Terlepas dari apapun latar
belakangnya telah ikut melemahkan aktivitas usaha pada umumnya. Kegiatan
produksi juga melorot, kegiatan penjualan menurun, dan perdagangan jasa terkait
atau mendukungnya juga ikut melemah. Hingga titik ini, kesempatan kerja yang
ada menjadi hilang yang barupun sulit diharapkan.
Dengan adanya krisis moneter akan menyebabkan jatuhnya nilai tukar rupiah sehingga
berdampak pada ketidakpastian penyelesaian utang oleh debitur. Karena besarnya
peran dan kebutuhan penyelesaian utang swasta dalam krisis moneter tadi, upaya
yang dinilai sangat mendesak untuk dilakukan dan diwujudkan adalah menghadirkan
perangkat hukum yang dapat diterima pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian
utang-piutang. Asumsi yang betapapun telah melandasi sikap tadi adalah gejolak
di pasar uang dapat dibantu peredarannya apabila perspektif penyelesaian utang
piutang dapat dibuat jelas, baik bentuk maupun jadwal waktunya.
Penyelesaian masalah utang piutang berfungsi sebagai
filter untuk menyaring atas dunia usaha dari perusahaan-perusahaan yang tidak
efisien. Kebijaksanaan penyelesaian masalah utang piutang tersebut pada
gilirannya diharapkan dapat memberikan kepercayaan dan rasa aman kepada para
investor, baik nasional maupun asing untuk menanamkan modal atau mengembangkan
usaha di Indonesia.
Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian
nasional, pasti dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang ambruk dan
rontok sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi
kewajibannya kepada kreditur. Keambrukan itu akan menimbulkan masalah besar
jika aturan main yang ada tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu perlu ada
aturan main yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif sehingga
dapat memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan debitur untuk
mengupayakan penyelesaian secara adil.[4]
Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi
penyelesaian utang piutang dan erat relevansinya dengan kebangkrutan dunia
usaha adalah peraturan tentang Kepailitan, termasuk pengaturan tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, ternyata dalam hal pengaturan
tentang eksistensi dari suatu subyek hukum yang dinyatakan pailit terutama
eksistensi Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan pailit masih belum diatur
secara jelas dan tegas.
Di samping itu dengan sifat badan hukumnya yang
terbatas dalam arti bahwa kekayaan perseroan terpisah dengan kekayaan para
pesero pengurus dalam prakteknya menunjukkan bahwa perseroan seringkali
dipergunakan sebagai alat untuk menutupi pertanggungjawaban yang lebih luas,
yang seharusnya dapat dikenakan, dan dipikulkan kepada pihak-pihak yang telah
menerbitkan kerugian tersebut. Dengan berkedok di belakang sifat
pertanggungjawaban yang terbatas tersebut acapkali kita temukan keadaan dimana
perseroan dijadikan tameng bagi Direksi perseroan yang tidak beritikad baik.
Melalui pelaksanaan kegiatan perseroan terbatas, dengan pertanggungjawaban yang
terbatas, harta kekayaan Direksi yang beritikad tidak baik seolah-olah menjadi
tidak tersentuh.[5]
PEMBAHASAN
Tinjauan
Umum Perseroan Terbatas dan Kepailitan
Perseroan
Terbatas
Didalam Kitab Undang
Undang Hukum Dagang (KUHD), definisi mengenai perseroan terbatas tidak akan
dijumpai dalam Pasal Pasalnya. Namun demikian menurut Pasal 36, 40, 42
dan 45 KUHD dapat disimpulkan bahwa
suatu Perseroan Terbatas mempunyaim unsur sebagai berikut:[6]
Adanya kekayaan yang terpisah dari
kekayaan pribadi masing-masing pesero (pemegang saham) dengan tujuan untuk
membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan.
Adanya pesero atau pemegang saham yang
tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya,
sedangkan mereka semua di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang merupakan
kekuasaan tertinggi dalam organisasi perseroan mempunyai suara untuk mengambil
keputusan dalam hal mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris,
menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan
hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar.
Adanya pengurus (direksi) dan pengawas
(komisaris) yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap
perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugas yang harus sesuai dengan
anggaran dasar atau keputusan RUPS.
Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa
perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan
ketentuan didalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dalam mendirikan perseroan terbatas haruslah dipenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
- Adanya dua orang atau lebih untuk mendirikan perseroan.
- Adanya pernyataan kehendak dari pendiri untuk persetujuan mendirikan perseroan dengan mewajibkan setiap pendiri mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.
- Perjanjian pendirian perseroan tersebut dinyatakan di hadapan Notaris dalam bentuk akta pendirian berbahasa Indonesia sekaligus memuat anggaran dasar perseroan.
Untuk memperoleh pengesahan atas suatu PT, maka
harus dilakukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan akta pendirian
perseroan kepada Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia, yang mana apabila
permohonan disetujui maka dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak tanggal
permohonan akan diberitahukan kepada permohon mengenai pengesahan permohonan.[7]
Setelah perseroan sah berdiri, maka direksi
perseroan mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan perseroan tersebut dalam
daftar perseroan. Daftar perseroan adalah daftar perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan
dalam waktu paling lambat 30 hari setelah pengesahan atau persetujusn diberikan
yang kemudian diumumkan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagai
pemenuhan azas publisitas.
Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan
terbatas dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapt dimiliki oleh setiap
orangperorangan, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya
mungkin dilaksanakan oleh orang perorangan seperti misalnya yang diatur dalam
buku kedua KUHPerdata tentang kewarisan.
Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang
dimiliki tersebut, ilmu hukum telah merumuskan fungsi dan tugas dari
masingmasing organ perseroan tersebut yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana bunyi Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 organ perseroan terbatas adalah :
1.
Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS)
2.
Direksi
3.
Komisaris
Kepailitan
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal
yang berhubungan dengan
”pailit”. Black’s Law Dictionary memberikan
pengertian bahwa pailit dihubungkan dengan ”ketidakmampuan untuk membayar”
dari seorang (debitur) atas utangutangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampun tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun
atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang sebagai pengganti dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 definisi mengenai kepailitan dapat kita lihat
di dalam Pasal 1 ayat 1 yaitu Kapailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Berdasar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan
pernyataan pailit tersebut diajukan oleh:
1. Debitur sendiri.
2. Atas permintaan seorang atau lebih kreditur.
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
4. Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
5. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpangan dan Penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal.
6. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.
Subyek hukum yang dapat dinyatakan pailit adalah :
1. ”Orang perorang”, baik laki-laki maupun
perempuan yang telah menikah maupun yang belum, jika permohonan pailit itu
diajukan oleh ”debitor perorangan yang telah menikah” maka permohonan
tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isteri, kecuali
antara suami atau isteri tidak ada percampuran harta.[8]
2. ”Perserikatan-perserikatan dan
perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya”. Permohonan
pernyataan pailit terhadap suatu ”Firma” harus memuat nama dan tempat
kediaman masingmasing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh
utang firma.[9]
3. ”Perseroan-perseroan,
perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum”. Dalam hal ini berlakulah ketentuan
mengenai kewenangan masing-masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran
dasarnya.[10]
4. Harta peninggalan.[11]
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menyebutkan secara
eksplisit terkait pengadilan yang berwenang dalam mengajukan permohonan pailit.
Namun terdapat rumusan, yakni Setiap permohonan pernyataan pailit harus
diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan
hukum debitur, dengan ketentuan bahwa :
1. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah
Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan hukum terakhir debitor (ayat 2).
2. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma,
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut
juga berwenang memutuskan (ayat 3).
3. Dalam hal debitor tidak berkedudukan di wilayah
Negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat
debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia
(ayat 4).
4. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, tempat
kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya (ayat
5).
Ketentuan mengenai pengadilan yang berwenang di atas
sejalan dengan ketentuan Pasal 118 HIR yang menyatakan bahwa forum pihak yang
digugatlah yang berhak memeriksa. Ini untuk memberikan keleluasaan bagi pihak
tergugat untuk membela diri.
Walaupun Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang sudah secara jelas menyebutkan mengenai pengadilan yang
berwenang, kita tidak boleh melupakan adanya asas ”recht van overdaging”
yang diatur dalam Pasal 100 RV (Reglement op de Rechtvordering).
Ketentuan ini merupakan pelengkap hukum acara perdata (HIR) dan masih
tetap berlaku sampai saat ini. Asas ini pada dasarnya memberikan hak kepada
pihak penggugat untuk mengajukan gugatan di tempat pihak lain (penggugat).
Sedangkan untuk hukum acara yang di gunakan adalah
hukum acara perdata, seperti yang di tentukan dalam Pasal 299 Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menyatakan bahwa: ”Kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata”.
Dalam hal ini berarti yang berlaku adalah Het
Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/ Reglemenet Indonesia yang
Diperbaharui (RIB) untuk Jawa dan Madura, dan Rechtstreglement
Buitengewesten (RBG) untuk daearah luar Jawa dan Madura dan RV
(Reglement of de Rechtvordering) seberapa jauh dianggap perlu dan relevan.
Dalam undang-undang tentang kepailitan maka pada
prinsipnya asas-asas umum dari kepailitan, yakni Sifat dapat dilaksanakan
lebih dahulu (Uit Voor Baar Bij
Voor Raad).
Asas dapat dilaksanakan lebih dahulu dapat kita
lihat di dalam Pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa :
”Putusan atas permohonan pailit dapat dilaksanakan
terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”
dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang
yang mewajibkan kurator kepailitan untuk melaksanakan segala tugas dan
kewenangannya untuk mengurus dan/atau membereskan harta pailit terhitung sejak
putusan pernyataan pailit ditetapkan, meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Sifat tersebut makin diperkuat oleh
ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang yang menyatakan bahwa meskipun putusan pailit tersebut kemudian dikoreksi
atau dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkis lebih tinggi, semua
kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung
putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan (baik dalam
bentuk putusan kasasi, maupun karena peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung)
tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.
Sifat pembuktian
sederhana
Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menyatakan bahwa
setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit oleh terpenuhi.
Syarat itu tercantum
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang, yaitu orang yang hendak dinyatakan pailit mempunyai lebih dari
dua kreditur dan memiliki utang yang tidak dibayar dan dapat ditagih.
Asas publisitas
Artinya harus ada suatu
permohonan pernyataan pailit yang diajukan baik oleh kreditur maupun debitur
sendiri kepada pengadilan agar pihak ketiga yang berkepentingan
mengetahui keadaan dari debitur yang tidak mampu membayar utang-utangnya
(Pasal 6 UUK & PKPU).
Dalam hal permohonan
pernyataan pailit dapat diajukan jika persyaratan kepailitan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 2 ayat 1 UUK & PKPU telah terpenuhi yaitu :
1. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur.
2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Untuk memahami dari persyaratan kepailitan di atas,
maka akan dipaparkan secara lebih lengkap sebagai berikut :
1. Keharusan adanya dua kreditur
Keharusan adanya dua kreditur merupakan persyaratan yang ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 Kitan Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi :
”Kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
kreditur itu ada alasan-alasan untuk didahulukan”.
Rumusan tersebut memberitahukan pada kita semua, bahwa pada dasarnya
setiap kebendaan yang merupakan sisi positif harta kekayaan seseorang harus
dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan
individu ini, yang disebut dengan nama Kreditur.
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah bahwa harta kekayaan tersebut
harus dibagi secara :
1. Pari passu, dengan pengertian bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara
bersama-sama diantara para kreditur tersebut.
2. Pro rata,
sesuai dengan besarnya imbangan piutang masingmasing kreditur terhadap utang
debitur secara keseluruhan.
Sehubungan dengan eksistensi dari sekurangnya dua orang kreditur merupakan
suatu syarat mutlak karena jika hanya ada satu kreditur tidak perlu kepailitan
karena tidak perlu pengaturan pembagian hasil eksekusi harta pailit kepada
beberapa kreditur.
2. Pengertian Utang Yang Jatuh Waktu
Di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang di dalam Pasal 1 ayat (6), disebutkan bahwa pengertian ”Utang” adalah :
Kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau
Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitur.
Sedangkan pengertian dari ”Jatuh waktu” dapat kita lihat di dalam Pasal
1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa pihak yang berhutang
dianggap lalai apabila ia dengan surat teguran telah dinyatakan pailit dan
dalam surat tersebut debitur diberi waktu tertentu untuk melunasi hutangya.
Dari rumusan Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat dilihat
bahwa, dalam Perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu. Undang-undang
membedakan kelalaian berdasarkan adanya ketetapan waktu dalam perikatannya,
dimana :
1. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka terhitung
sejak lewatnya jangka waktu yang telah ditentukan dalam perikatannya tersebut,
debitur dianggap telah lalai untuk melaksanakan kewajibannya.
2. Dalam hal tidak ditentukan terlebih dahulu saat mana
debitor berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya tersebut, maka debitor
baru dianggap lalai jika ia telah ditegur untuk memenuhi atau menunaikan
kewajibannya yang terutang tersebut masih juga belum memenuhi kewajibannya yang
terutang tersebut. Dalam hal yang demikian maka bukti tertulis dalam bentuk
teguran yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur mengenai kelalaian
debitur untuk memenuhi kewajibannya menjadi dan merupakan satu-satunya bukti debitur
yang lalai.
Dengan demikian berarti atas perikatan untuk atau memberikan sesuatu dalam
bentuk uang tunai, yang telah ditentukan saat penyerahannya, maka terhitung
dengan lewatnya jangka waktu tersebut, utang tersebut demi hukum telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
Dalam konteks ini berarti, jika kreditur bermaksud untuk memajukan
kepailitan atas diri debitur, maka kreditur tidak perlu lagi mengajukan bukti
lain, selain perjanjian yang menentukan saat jatuh temponya yang telah
terlewati tadi.
Terkait dengan harta pailit, yang disebut dengan
harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan
keputusan Pengadilan. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang secara tegas menyatakan bahwa: ”Kepailitan meliputi seluruh
kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh
pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama kepailitan
berlangsung”.
Walau demikian ketentuan Pasal 20 Undang-undang
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang mengecualikan beberapa macam harta
kekayaan debitur dari harta pailit. Khusus bagi individu atau debitur
perorangan yang dinyatakan pailit, maka seluruh akibat dari pernyataan pailit
tersebut yang berlaku untuk debitur pailit juga berlaku untuk suami atau isteri
yang menikah dalam persatuan harta dengan debitur pailit tersebut. Ketentuan
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang mewajibkan adanya persetujuan dari suami atau isteri, dalam hal seorang
debitur yang menikah dengan percampuran harta ingin mengajukan permohonan
kepailitan. Ini berarti bahwa kepailitan tersebut juga meliputi seluruh harta
kekayaan dari pihak suami atau isteri debitur perorangan dari debitur yang
dinyatakan pailit tersebut, yang menikah dalam persatuan harta kekayaan. Harta
kekayaan tersebut meliputi harta yang telah ada pada saat pernyataan pailit
diumumkan dan harta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan.
Akibat
Hukum Bagi Perseroan Terbatas Dalam Hal Telah Dijatuhi Putusan Pilit
Seperti yang telah
di jelaskan sebelumnya, bahwa pengertian Perseroan Terbatas adalah sebagai
suatu badan hukum, karena hal ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban
suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas
tersebut.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa perseroan
terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Dengan statusnya
sebagai badan hukum maka berarti perseroan berkedudukan sebagai subyek hukum
yang mampu mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan
mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para
pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya, atau dapat dikatakan bahwa
kita dapat menemui keoknuman (rechtpersoonlijkheid) dalam badan hukum
korporasi atau perseroan. Akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas tidak akan kita temui batasan apa itu sebenarnya
yang dimaksud dengan badan hukum tersebut.
Ada beberapa teori
yang dikemukakan oleh para ahli mengenai badan hukum antara lain sebagai
berikut:[12]
1.
Teori Fiktif
dari Von Savigny
Teori ini menyatakan
bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Sebetulnya menurut alam
hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi
saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam
bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum
diperhitungkan sama dengan manusia.
2.
Teori harta
kekayaan bertujuan dari Brinz
Menurut teori ini
hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun, juga tidak dapat
dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusiapun yang
menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan
hukum sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai
penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atas
kekayaan kepunyaan suatu tujuan.
3.
Teori Organ dari Otto Von Gierki
Menurut teori ini badan
hukum adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam
manusia ada dalam pergaulan hukum. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang
sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemauan
sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus,
anggota-anggotanya). Apa yang mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan
dari badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak
berbeda dengan manusia.
4.
Teori propiete
collective dari Planiol
Menurut teori ini
hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban
anggota bersama-sama disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu
merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki
masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik
bersama-sama untuk keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang
berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang dinamakan badan hukum. Maka dari itu badan hukum adalah suatu konstruksi
yuridis saja.
Dengan demikian dari
berbagai teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu sebagai
berikut :
a.
Mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai
wujud yang nyata, dianggap mempunyai ”panca indera” sendiri seperti manusia,
akibatnya badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.
b.
Mereka yang
menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan
hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya kalau badan hukum itu membuat
kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri di belakang
badan hukum itu secara bersama-sama.[13]
Perbedaan teori
mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan
pertanggungjawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada di belakang
badan hukum tersebut. Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban adalah siapa
yang harus membayar utang yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan
dalam rangka kegiatan bersama serta siapakah yang harus menanggung atas
kerugian yang timbul.
Akibat Hukum Perseroan Terbatas Yang
Dijatuhi Putusan Pailit
Pada dasarnya
sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum
berkenaan dengan kekayaannya harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan
hak-hak kontraktual serta kewajiban debitur menurut peraturan
perundang-undangan.[14]
Semenjak pengadilan
mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap
debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan
penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak
kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai
boedelnya.[15]
Si pailit masih
diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan,
misalnya membut perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi
keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan
perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian
itu tidak mengikat boedel.
Ada beberapa harta
yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:[16]
a.
Alat
perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari.
b.
Alat
perlengkapan dinas.
c.
Alat
perlengkapan kerja.
d.
Persediaan
makanan untuk kira-kira satu bulan.
e.
Buku-buku yang
dipakai untuk bekerja.
f.
Gaji, upah,
pensiun, uang jasa dan honorarium.
g.
Sejumlah uang
yang ditentukan oleh hakim komisaris untuk nafkahnya (debitur).
h.
Sejumlah uang
yang diterima dari pendapatan anak-anaknya;
Begitu pula hak-hak
pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan kekayaan atau barang-barang
mililk pihak ketiga yang kebetulan berada di tangan pailit, tidak dapat
dikenakan eksekusi, misalnya : hak pakai dan hak mendiami rumah.[17]
Akibat
hukum bagi Perseroan Terbatas selama kepailitan
Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas, beroperasi atau tidaknya perseroan
setelah putusan pailit dibacakan tergantung pada cara pandang kurator terhadap
prospek usaha perseroan pada waktu yang akan datang. Hal ini dimungkinkan
karena berdasar ketentuan di dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:
(1)
Berdasarkan
persetujuan panitia kreditor sementara, kurator dapat melanjutkan usaha debitur
yang dinyatakan pailit walaupun terhadap pernyataan putusan pailit tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
(2)
Apabila dalam
kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, curator memerlukan izin hakim
pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Berdasar bunyi pasal
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepailitan Badan Hukum Perseroan
Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis membuat perseroan kehilangan haknya
untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut karena
kepailitan perseroan terbatas menurut hukum Indonesia tidak menyebabkan
terhentinya operasional perseroan. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang
dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan memutuskan
untuk menghentikan beroperasinya perseroan terbatas dalam permohonan seorang Kreditur.
Setelah perseroan tersebut dihentikan, maka Kurator mulai menjual aktiva boedel
tanpa memerlukan bantuan/persetujuan debitur pailit.
Akan tetapi pasal
tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat pencocokan piutang tidak
ditawarkan perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak
diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum harga pailit
berada dalam keadaan insolvensi. Kurator/Kreditur yang hadir dalam rapat
mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan (Pasal 179 ayat (1))
dan usul tersebut hanya dapat diterima apabila usul tersebut disetujui oleh
para kreditur yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang
diakui dan diterima dengan sementara yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan
fiducia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya (Pasal
180 ayat (1)).
Walaupun
syarat-syarat seperti di atas telah terpenuhi, tetap beroperasi tidaknya suatu
badan hukum perseroan masih harus tetap mendapatkan persetujuan dari Hakim
Pengawas dalam suatu rapat yang dihadiri oleh Kurator, Debitur dan Kreditur,
yang diadakan khusus untuk membahas atas usul kreditur sebagaimana tersebut di
dalam Pasal 179 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 180 ayat (1), Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dengan diteruskannya
kelanjutan usaha dari debitur (perseroan terbatas) pailit maka dimungkinkan
adanya keuntungan yang akan diperoleh diantaranya yaitu :
1.
Dapat menambah
harta si pailit dengan keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh dari
perusahaan itu.
2.
Ada kemungkinan
lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya secara penuh.
3.
Kemungkinan
tercapai suatu perdamaian.[18]
Dalam hal usaha dari
perseroan terbatas diteruskan atau perseroan tetap beroperasi yang menjadi
pertanyaan adalah siapa yang akan melakukan tindakan pengurusan sehari-hari
dari perseroan tersebut, apakah pengurusan tetap dilakukan oleh direksi ataukah
pengurusan dilakukan oleh kurator yang menggantikan kedudukan direksi dalam menjalankan
aktivitas usaha perseroan.
Mengenai hal ini
akan menjadi pertentangan tersendiri karena dalam praktek sebenarnya direksi
yang lebih mengetahui tentang seluk beluk dari usaha perseroan, pasar serta
konsumen dari perseroan pailit, demikian pula bilaman ada cukup alasan untuk
itu, direksi perseroan pailit yang mewakili perseroan dalam menjalankan haknya
mengajukan permohonan kepada pengadilan agar kurator diganti atau diangkat curator
tambahan.
Jika kita baca Pasal
16, Pasal 69 ayat 1, Pasal 104 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat disimpulkan bahwa
dengan dilanjutkannya usaha dari debitur (perseroan) pailit maka yang berwenang
untuk mengurus Perseroan sebagaimana layaknya seorang direksi adalah kurator.
Kurator wajib bertindak sebagai pengelola perusahaan yang baik. Kurator wajib
menilai kompetensinya untuk mengelola harta pailit sesuai dengan standar
profesi kurator dan pengurus Indonesia dan jika perlu mencari bantuan untuk mengelola
usaha.
Dengan beralihnya
kewenangan dari direksi kepada kurator untuk mengelola perseroan maka
konsekuensi dari hal itu adalah bahwa curator adalah juga bertindak sebagai
direksi sehingga tugas dan kewajiban serta tanggung jawab direksi perseroan menjadi
tugas dan tanggung jawab kurator.
Tugas dan kewajiban
kurator dalam posisinya sebagai pengurus perseroan adalah :
1.
Melakukan
pengurusan sehari-hari dari perseroan.
2.
Melakukan
pinjaman kepada pihak ketiga.
3.
Menghadap di
sidang pengadilan.
4.
Menjual atau d
engan cara lain mengalihkan barang-barang tetap milik perseroan atau membebani
barang-barang milik perseroan tersebut dengan hutang.
5.
Menggadaikan
barang-barang begerak milik perseroan yang bernilai. Sedangkan tanggung jawab
kurator dapat dibagi menjadi:[19]
1. Tanggung jawab kurator dalam menjalankan tugas
Tanggung jawab kurator dalam kapasitas
sebagai kurator dibebankan pada harta pailit, dan bukan pada kurator secara
pribadi yang harus membayar kerugian pihak yang menuntut mempunyai tagihan atas
harta kepailitan, dan tagihannya adalah utang harta pailit. Seperti:
a.
Kurator lupa
untuk memasukkan salah satu kreditor dalam rencana distribusi.
b.
Kurator menjual
asset debitur yang tidak termasuk dalam harta kepailitan.
c.
Kurator menjual
asset pihak ketiga.
d.
Kurator berupaya
menagih tagihan debitur yang pailit dan melakukan sita atas property debitur,
kemudian terbukti bahwa tuntutan debitur tersebut palsu.
Kerugian yang timbul sebagai akibat dari
tindakan kurator tersebut di atas tidaklah menjadi beban harta pribadi kurator
melainkan menjadi beban harta pailit.
2. Tanggung jawab pribadi curator
Kerugian yang muncul sebagai akibat dari
bertindaknya atau tidak bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator.
Dalam kasus seperti ini kurator bertanggung jawab secara pribadi. Kurator harus
membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat terjadi
jika kurator menggelapkan harta kepailitan. Putu Supadmi menjelaskan bahwa
segala kerugian yang timbul, akibat dari kelalaian atau karena
ketidakprofesionalan kurator menjadi tanggung jawab kurator. Karenanya kerugian
tersebut tidak bisa dibebankan pada harta pailit.
Terhadap pendapat tersebut, Tutik Sri
Suharti, seorang kurator di Jakarta, mengungkapkan bahwa pembebanan tanggung
jawab atas kerugian harta pailit kepada kurator akan membuat kurator menjadi tidak
kreatif dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam upaya untuk meningkatkan
harta pailit.
Akibat
hukum bagi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan
Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan,
berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya
kepailitan, yaitu:
1.
Apabila
pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai
kekuatan hukum yang pasti.
2.
Apabila
homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
3.
Apabila ada
pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata
tidak cukup untuk membiayai kepailitan.
Dalam hal kepailitan
badan hukum perseroan terbatas setelah berakhirnya kepailitan, bubar atau
tidaknya perseroan tergantung kepada keputusan hakim atas adanya permohonan
pembubaran perseroan karena didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang
perseroan terbatas tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum
perseroan terbatas secara terperinci sebagaimana didalam KUHD yang mengatur alasan
pembubaran perseroan terbatas. Alasan-alasan pembubaran perseroan karena jangka
waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian yang mencapai
75% dari modal perseroan. Akan tetapi undang-undang Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenal adanya pembubaran karena
penetapan pengadilan tetapi tidak mengenal adanya pembubaran demi hukum.[20]
Menurut ketentuan
Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
suatu Perseroan bubar karena:
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b.
karena jangka
waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c.
berdasarkan
penetapan pengadilan;
d.
dengan
dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya
kepailitan;
e.
karena harta
pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f.
karena
dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan
likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasar ketentuan Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dalam hal kepailitan PT dan
kelangsungan usaha tidak diteruskan, Direksi dapat mengajukan usul pembubaran
perseroan kepada RUPS dengan alasan bahwa perseroan tidak lagi berjalan selama
jangkawaktu tertentu karena telah dihentikannya usaha PT pailit oleh panitia kreditur.
Cara pembubaran PT juga dapat ditemui didalam
ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, yakni Pengadilan
negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a.
permohonan kejaksaan
berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan
melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b.
permohonan
pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta
pendirian;
c.
permohonan pemegang
saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan
Pailit tidak mengakibatkan
perseroan bubar selama harta kekayaan perseroan setelah kepailitan berakhir
masih ada dan dapat digunakan untuk menjalankan perseroan. Kepailitan perseroan
hanya menjadi alasan tidak mampu membayar hutang kepada kreditur. Dalam hal ini
kreditur tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu
membayar ini. Oleh karena itu apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu
membayar hutangnya, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan
kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri suatu
perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan
sehingga kreditur berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.
Karena perseroan
adalah suatu badan hukum maka atas setiap perseroan yang bubar perlu dilakukan
pemberesan/likuidasi. Keberadaan status badan hukum perseroan yang bubar tetap
ada untuk kebutuhan proses likuidasi tetapi perseroan tidak dapat melakukan
perbuatan hukum kecuali diperlukan untuk pemberesan kekayaannya dalam proses likuidasi.
Pasal 147
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib
memberitahukan:
a.
kepada semua
kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran
Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan
b.
pembubaran
Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan
dalam likuidasi.
Cara menghitung
jangka waktu 30 hari tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Apabila
perseroan dibubarkan oleh RUPS, maka jangka waktunya dihitung sejak tanggal
pembubaran oleh RUPS.
2.
Apabila
perseroan dibubarkan berdarakan penetapan pengadilan, jangka waktunya dihitung
sejak tanggal penetapan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selama pendaftaran
dan pengumuman tesebut belum dilakukan, maka bubarnya perseroan tidak berlaku
bagi pihak ketiga. Apabila likuidator lalai mendaftarkan dalam dalam daftar
perusahaan sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1982, maka sebagai akibatnya likuidator
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga.
Dalam pendaftaran
dan pengumuman sebagaimana dimaksudkan diatas, nama dan alamat likuidator wajib
disebutkan. Likuidator wajib mendaftarkan dan mengumumkan hasil akhir proses
likuidasi sesuai dengan ketentuan pasal 29 dan 30 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas serta mengumumkan dalam dua surat kabar harian.
PENUTUP
Simpulan
Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas adalah
kepailitan dirinya sendiri bukan kepailitan para pengurusnya, walaupun
kepailitan itu terjadi karena adanya kelalaian dari para pengurusnya. Sehingga
seharusnya pengurus tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara tanggung
renteng atas adanya kerugian karena kelalaiannya dan hanya dapat dimintai
pertangungjawaban apabila kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian
akibat kepailitan (Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas).
Kelanjutan usaha dari perseroan terbatas pailit
tergantung dari cara pandang Kurator serta kreditur atas prospek usaha debitur
pailit di masa datang, kepailitan perseroan terbatas demi hukum tidak membubarkan
perseroan terbatas. Pembubaran perseroan terbatas setelah putusan pailit
dibacakan hanya dapat dimintakan penetapan pengadilan oleh kreditur dengan alas
an perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit atau
harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah
pernyataan pailit dicabut. Hal mana juga ditegaskan di dalam penjelasan UUK dan
PKPU bahwa asas di dalam Undang-undang ini di antaranya adalah asas
kelangsungan usaha yang artinya bahwa kepailitan tidak demi hukum menjadikan
perseroan bubar.
Dalam prakteknya, kepailitan perseroan terbatas
adalah juga kepailian bagi direksinya karena implikasi dari adanya kepailitan
itu, tetap mengikuti Direksi di luar bidang kegiatan bisnis sehingga membatasi
gerak bagi direksi untuk berkarya di bidang lainnya, terutama yang
mensyaratakan bahwa seseorang tidak pernah menjadi direksi dari suatu pereroan
terbatas yang dinyatakan pailit.
Saran
Perlu ditegaskan dalam Undang-Undang mengenai
perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada
direksi apabila terjadi kepailitan perseroan terbatas. Dengan demikian nantinya
dapat secara jelas ditentukan mana yang menjadi tanggung jawab perseroan
terbatas dan mana yang menjadi tanggung jawab direksi perseroan.
Agar tidak terjadi kerancuan hukum, perlu adanya
pembedaan subyek hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat
hukumnya, yaitu adanya pengaturan mengenai kelanjutan atau eksistensi dari
subyek hukum badan hukum yang dinyatakan pailit, sehingga dapat dibedakan hak
dan kewajiban antara kepailitan individu perorangan sebagai subyek hukum
pribadi dengan kepailitan suatu badan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Amrizal. 1999. Hukum
Bisnis, Risalah Teori dan Praktek.
Jakarta: Djambatan.
Asikin, Zainal. 2000. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Budiarto, Agus. 2002. Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri
Perseroan Terbatas. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hartono, Sri Rejeki. 2002. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Mandar Maju.
Muhammad, Abdul Kadir. 1996. Hukum Perseroan Indonesia.
Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
Nating, Imran. 2004. Peranan
dan Tanggungjawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rido, R. Ali. 2001. Badan
Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandun:
Alumni.
Widjaja, Gunawan. 2003.
Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
[1] Amrizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktek, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 1.
[2] Agus
Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung
Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 1
[3] Sri Rejeki
Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 2002,
hal. 1-2.
1999, hal. 2.
[5] Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan
Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 9.
[6] Agus Budiarto,
Op. Cit, hal. 24
[7] Pasal 10
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[8] Pasal 4
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
[9] Pasal 5
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
[10] Pasal 3 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
[11] Pasal 207
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
[12] R. Ali Rido, Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2001, hal. 7
[13] Agus
Budiarto, Op. Cit, hal. 28-29.
[14] Imran
Nating, Peranan dan Tanggungjawab Kurator
Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, hal. 39.
[15] Pasal
24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
[16] Pasal
22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
[17] Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 54.
[18] Ibid, hal. 76
[19] Imran
Nating, Op.Cit, hal. 114-115.
[20] Abdul Kadir
Muhammad, Hukum Perseroan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal. 66
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Terima kasih kepada MRS KARINA ROLAND
BalasHapusNama saya ANNISA LOGAN, saya dari Indonesia, saya ingin menggunakan media ini untuk memberi tahu semua warga negara Indonesia yang mencari pinjaman di internet bahwa mereka harus sangat hati-hati karena internet penuh dengan penipu, beberapa bulan yang lalu saya benar-benar membutuhkan pinjaman, untuk meningkatkan saloon penata rambut saya, tetapi saya jatuh ke tangan pemberi pinjaman palsu, yang hampir mengacaukan hidup saya, sampai seorang teman merujuk saya ke salah satu pemberi pinjaman bernama MOTHER KARINA, pemilik KARINA ROLAND LOAN COMPANY, yang saya hubungi dan dia mengatakan kepada saya bahwa jika saya dapat memenuhi syarat dan ketentuan mereka bahwa pinjaman saya akan diberikan kepada saya dalam waktu kurang dari 24 jam yang saya lakukan, setelah itu saya mengajukan pinjaman 450 juta rupiah setelah detail saya diverifikasi dalam waktu kurang dari 24 jam, rekening bank saya dikreditkan. sekarang saya sangat senang atas kerja baik MOTHER KARINA dalam hidup saya dan keluarga saya, saya memutuskan untuk berbagi kesaksian saya tentang MOTHER KARINA, sehingga orang-orang dari negara saya dan kota saya dapat memperoleh pinjaman dengan mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman dalam bentuk apa pun, silakan hubungi MOTHER KARINA melalui email: karinarolandloancompany@gmail.com, atau whatsapp saja +13128721592 Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: annisalogan622gan@gmail.com untuk kerja bagusnya dalam hidup saya dalam hidup saya dan keluargaku.